“Ketika itu Malam tampak begitu suram, awan-awan enggan menampakkan indahnya kilauan bintang-bintang. Tetes demi tetes tangisan langit telah jatuh ke bumi, menyirami jiwa-jiwa yang kering dan menghidupi jiwa-jiwa yang mati. Suara muadzin pun mulai bersahut-sahutan di seluruh penjuru, mengajak seluruh jiwa untuk segera bercakap-cakap dengan penguasa langit dan bumi. Aku pun yang tengah duduk menghayati baris-demi baris harus rela menghentikan semuanya untuk segera menunaikan sholat Maghrib.
Bergegas kulangkahkan kaki ini menuju mesjid darul fathim. Pemandangan tak seperti biasanya, sandal-sandal telah bertumpuk saling tindih-menindih, kendaraan roda dua banyak terparkir Tak biasanya. Hati ini pun mulai berbicara, apakah itu firasat hati. “Ah bukan” aku pun sambil menghibur diri, menanti jawaban bahwa seakan ada pengajian atau lainnya. Ternyata hati kecil ini berkata benar,
Malam ini saya mendapatkan pelajaran yang luar biasa. Ketika melangkahkan kaki ke mesjid, namun melihat hal yang tak biasa, seakan menimbulkan pertanyaan dan jawaban tersendiri. Ternyata salah seorang hamba telah dipanggil kembali menghadap tuhannya, dan keranda bertuliskan “Laa illaaha illallah” pun telah di letakkan tepat berada di dekat pintu mesjid. Memang Allah sedang menampakkan kepada semua manusia bahwa suatu saat nanti kita akan menyusulnya. Rumah mewah dan mobil ber-AC, semua akan kita tinggalkan, dan hanya itulah yang akan menjadi kendaraan terkahir kita. Siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, pastinya kematian akan datang, dan malam ini juga mengajarkan kita, bahwa bumi ini hanya tempat persinggahan, yang namanya singgah pastilah tidak lama, kalau kelamaan ntar diusir sama yang punya.:).
Saya pun kembali merenung, kalaulah bumi ini hanya tempat persinggahan, berarti Layaknya seorang yang bertamu ke suatu tempat, maka tamu yang baik pastilah tidak akan berlama-lama disana, merasa tidak pernah betah, dan selalu terbayang-bayang dengan rumah yang sesungguhnya. Lantas saya pun berfikir, kalaulah dunia ini hanya sementara, tapi mengapa banyak kita seakan lupa, terlena, terpedaya dengan indahnya nikmat dunia yang ditampilkan kepada kita, padahal Allah menyiapkan seluruh rezki untuk semua makhluk di muka bumi sebagai bekal selama persinggahan untuk kembali ke kampung halaman, bukan hanya bengong, tidur-tiduran, atau malah tersesat di tempat perantauan, dan menikmati persinggahan seakan tak mau pulang.
Jantung pun berdegup kencang, seakan tidak ingin melihat keranda tersebut. Apakah ini pertanda bahwa saya masih sangat cinta dunia, sehingga merasa ketakutan dan tidak siap jikalau maut menjemput. Padahal maut adalah rahasia, tidak ada satu makhluk yang mengetahuinya, bila ruh sudah tidak mengisi relung jiwa, maka jasad ini bagaikan seonggok daging yang tak berdaya. Ruh bukan hanya berada di jantung, melainkan seluruh tubuh. Kalaulah bagian tubuh kita tersayat sedikit, maka sebanyak itulah ruh diangkat di dalam tubuh. Namun bila ruh tersebut pergi meninggalkan jasad ini, maka berdiripun tak kuasa, mata terpejam dan tubuh hanya terbujur kaku.
Dunia ini hanyalah sementara, tempat persinggahan yang seakan tidak bernilai. Lantas berapakah harga dunia? berapakah nikmat yang diberikan kepada kita selama persinggahan? Tidak lain hanyalah seperti kita meletakkan satu jari kedalam lautan, lalu kita angkat jari tersebut. Maka seberapa banyak yang bisa kita angkat? Setetes, dua tetes, tiga tetes, maka sebanyak itulah kenikmatan yang diberikan oleh dunia. sedangkan yang kita tinggalkan! Masya Allah, selautan. Lantas hari ini banyak dari kita yang terpedaya, dan lupa menjalani dunia seolah-olah hidup selama-lamanya, hingga kita pun lupa tuk kembali pulang ke kampung halaman. Maka Rasulullah pun berkata dan mengumpamakan dunia,
“Kehidupan dunia adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi seorang kafir”
(HR. Muslim)
Sehingga seorang mukmin tidak akan pernah bertah, ia selalu rindu dengan kampung halaman, ia tidak bisa tidur nyenyak, makan pun tak enak. Lantas inilah yang membuat Abu Bakar berdo’a kepada Allah :
“Ya Allah jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami “Abu Bakar ash-Shiddiq
Kalaulah dunia ada di tangan kita, maka ia dengan mudah dilepaskan, tapi kalaulah ia masuk ke dalam hati maka pastilah kita tidak akan rela kehilangannya. Inilah mental para sahabat, mereka tidak ingin dunia menyilaukan mereka, yang nantinya membuat mereka lupa. Biarlah mereka lupa daratan namun mereka tidak pernah lupa lautan. Seperti itu lah nikmat yang Allah tahan kepada kita, sedangkan banyak dari kita termasuk saya, hari ini masih terpedaya dengan nikmat setetes, 2 tetes, 3 tetes tersebut. Ada sebuah kisah tentang Hanzalah, ketika itu ia menjalankan tugas seperti pria-pria lain yaitu menjalankan malam pertama dengan istrinya, namun saat itu seruan jihad dikumandangkan, ia pun bergegas dan bertempur mati-matian, lalu ia pun syahid di medan perang. Kemudian Rasul pun berkata “coba cek dan tanya istrinya! mengapa aku melihat hanzallah di mandikan para malaikat". Maka istrinya pun berkata, “hanzalah berangkat menunaikan seruan jihad dalam keadaan junub”. Subhanlallah, ini lah mental para sahabat, nikmat dunia saja sudah seperti ini, apalagi nikmat akhirat. Nggak tahan dia? Hehe..Yang jelas dunia kita tuju, namun akhirat juga kita tuju. (Nikmat dunia, nikah mennn!!)hhehe
Saat ini kita sudah tahu berapa harga dunia, dan kampung akhiratlah yang akan tuju. Tapi masalahnya seberapa lama kita hidup di dunia? Kalaulah kita mengambil rata-rata hidup manusia yaitu 70 tahun, dan Al-Qur’an surat Al-Ma’arij (70):4 pun menjelaskan bahwa nantinya kita akan berkumpul dipadang mahsyar, dimana 1 hari disana bagaikan 50.000 tahun. Lantas jika kita hitung secara matematika, maka lama perantauan kita adalah :
Bila 50.000 tahun = 1 hari
Maka 70 tahun = X (hari)
X (Hari) = 70 tahun/50.000 tahun x 1 hari = 0,0014 hari
Sehingga x (hari) = 0,0014 hari x 24 jm = 2 Menit 1 detik..
Melalui perhitungan sederhana, dan relativitas waktu di padang mahsyar maka Inilah waktu perantauan kita hanya 2 menit 1 detik. Terlepas dari angka tersebut, ini menunjukkan bahwa dunia hanyalah sebentar dan sesaat saja. Kalaulah kita nunggu bus way setengah jam, terasa lama, tpi kalau kita maen game 1 jam? Terasa hanya sebentar. Waktu memang relative. Yang jelas nantinya kita akan berkumpul di padang mahsyar, dengan wajah berseri dan ada yang berwajah suram. Yang berwajah seri berkata, “Untung saya mau sabar beribadah 2 menit 1 detik, untung saya berusah-susah untuk 2 menit 1 detik”, sedangkan laiinya berkata, “Ya Allah, aku telah merasakan kenikmatan 2 menit 1 detik dan membeli ini semua dengan kengeriaan yang ada”.
Tapi tak akan ada yang tahu kapan kita akan dijemput, tak ada satu pun yang bisa menolaknya, mau tidak mau, suka atau tidak suka, pastialah ia akan datang juga, kematian yang nantinya akan memisahkan kita dengan dunia. Hanya saja semua dirahasiakan, supaya kita ingat dan waspada, huhff, nulisnya aja berat banget ni..!! yang jelas tua, muda, kaya miskin, semua akan dipanggil olehnya. Ketika 2 hari yang lalu, saya terkejut membaca di twitter, bahwa seorang artis pelawak yang masih sangat muda, ternyata ia harus buru-buru menghadap tuhannya. Saya pun berfikir, bahwa manusia seakan terlena, ternyata muda pun tidak ada yang menyangka, bahwa ajal akan selalu mengintai kita. Masih ingatkah dengan kejadian Tugu Tani, siapa sangka mereka akan diseruduk Xenia secara tiba-tiba, hingga 8 orang lebih tewas dan beberapa lainnya kritis. Namun kita seakan terlena dengan gemerlap pesona dunia. Astagfirullah...! “Ya Allah ampunilah dosa hambamu ini ya Allah”
Maka pertanyaannya sekarang, apa yang telah kita siapkan selama 2 menit 1 detik ini? Apakah kita akan mengorbankan waktu 2 menit 1 detik ini dengan keabadian akhirat? Atau apakah kita akan menghabiskan waktu perantauan kita dan masa tunggu ini selama 2 menit 1 detik dengan memanjakan nafsu yang tak ada habisnya. So semua adalah pilihan, dan pilihan yang kita ambil akan membutuhkan konsekuensi dan pengorbanan. Maka selayaknya seorang perantauan, maka kita tidak akan pernah tidur nyenyak, makan enak, karena ini bukanlah tempat bagi kita, melainkan menanti untuk segera pulang ke kampung halaman. Kampung halaman seperti yang Allah telah janjikan, bagaikan sungai yang mengalir di dalamnya, terdapat buah-buahan dan makanan yang lezat untuk disantap, ditemani dengan bidadari yang cantik jelita, yang wajahnya memancarkan cahaya, dan tangannya memanggil-mangil kita untuk minta segera dipinang. Huffhhh,, membayanginnya saja wuuuh luar biasa (to look beyond the imagination is the hardest part)!
Karena telah menyadari bahwa dunia hanya tempat persinggahan, maka saya tidak boleh terpesona, apalagi tersesat sehingga tidak tahu jalan pulang kerumah, so, teman-teman marilah kita bersabar selama 2 menit 1 detik untuk terus berusaha mendapat ridho Allah SWT. Suka-atau tidak suka, mau-atau tidak mau. Ingat bahwa kita adalah perantau sehingga kita harus menyiapkan bekal untuk kembali pulang ke rumah. Dan masa perantauan kita sangatlah singkat hanya 2 menit 1 detik. “Wallahu’alam bissawab”.
Semoga kita bisa saling mengingatkan dan juga sama-sama berjuang untuk menegakkan “Syariah dan Khilafah”, supaya kita bisa menjalani 2 menit 1 detik ini dengan tenang, dan selalu mendapat berkah di setiap langkah. Teman-teman, saya mohon maaf jika ada kata-kata saya yang salah, karena kebenaran hanya miliK-Nya, dan kelemahan dan kekurangan hanya milik saya. so saya mohon maaf, dan sekaligus mengucapkan terima kasih telah membaca tulisan ini, semoga ada manfaat buat kita semua, dan terutama saya pribadi. Dan nantikan tulisan saya berikutnya ya Sob!!:))))
2 komentar:
keren Li artikel nya :)
btw kasih tombol share on fb and twitter donk Li blog mu.. Biar mudah kalo ada yg mw share gitu. Hehehe
(apa sbnr nya ada tapi krn aq lg mobile jd gk kliatan yahh)
Semoga bermanfaat ya,,
Terima kasih atas sarannya juga ya Al-Amien,, Hehe
Posting Komentar